Gedung parlemen |
Bentuk Negara
Umumnya,kita mengenal dua bentuk negara,yakni negara kesatuan dan negara federasi atau serikat.
1.Negara kesatuan memiliki ciri-ciri, antara lain hanya ada satu pemerintahan, satu parlemen, satu lembaga peradilan, dan satu konstitusi. Misalnya negara Indonesia, Filipina, Afrika Selatan, dan Rusia.
2. Negara federasi atau serikat memiliki ciri-ciri antara lain terdapat negara di dalam negara atau sering disebut negara bagian. Negara bagian biasanya lebih dari satu dan memiliki wewenang membuat undang-
undang yang berlaku untuk wilayahnya masing-masing. Demikian pula dalam hal peradilan, tiap negara bagian memiliki peradilannya sendiri dengan aturan hukum tersendiri pula. Namun, pada negara federasi tetap ada konstitusi yang mengikat seluruh negara bagian. Konstitusi itu disebut konstitusi serikat. Pemerintahan federasi (pusat) memiliki wewenang dalam hal politik luar negeri, moneter, dan keamanan negara. Contoh negara federasi atau serikat adalah Jerman, Amerika Serikat, dan Australia.
Bentuk pemerintahan
Ada tiga macam bentuk pemerintahan yang dikenal saat ini, yakni republik, monarki, dan kekaisaran.
1. Republik adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin seorang presiden. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif. Presiden dipilih oleh parlemen secara berkala. Kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen. Kekuasaan yudikatif dipegang oleh lembaga peradilan (mahkamah agung). Saat ini, bentuk republik memiliki beberapa variasi, seperti republik absolut, republik konstitusional, dan republik parlementer.
2. Monarki adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja atau ratu. Jabatan. raja atau ratu diperoleh berdasarkan keturunan dan berlaku seumur hidup. Contoh negara berbentuk monarki adalah Inggris, Belanda, dan Brunei Darussalam. Bentuk pemerintahan monarki memiliki beberapa variasi, yakni monarki absolut (raja memiliki kekuasaan mutlak), monarki konstitusional, dan monarki parlementer (kekuasaan dipegang parlemen dan dijalankan oleh sebuah kabinet).
3. Kekaisaran adalah bentuk pemerintah dengan kepala negara seorang kaisar. Seperti halnya raja, jabatan kaisar juga diperoleh secara turun temurun. Contoh negara kekaisaran adalah Jepang.
Bentuk kekuasaan
Kekuasaan dapat diperoleh melalui cara-cara berikut.
1. Kekuasaan karismatik yang dimiliki orang yang berkarisma atau disegani orang lain. Contohnya, seorang ulama yang dapat menenangkan dan memengaruhi banyak orang.
2. Tradisi atau keturunan. Contohnya, putra raja secara otomatis akan menggantikan sang raja di kemudian hari.
3. Pemberian secara formal (legal-rasional). Contohnya, presiden yang dipilih oleh rakyat melalu pemilu. Dalam masyarakat, kita mengenal orang atau lembaga yang memiliki kekuasaan, seperti presiden, bupati, lurah, ketua RT, ketua adat, MPR, dan lembaga adat. Orang atau lembaga tersebut memiliki kekuasaan untuk mengatur warga masyarakat agar bertindak atau berperilaku sesuai norma yang berlaku. Kekuasaan tersebut mendorong pola ketaatan para anggota masyarakat.
Hilangnya pola ketaatan terhadap kekuasaan dapat terjadi karena alasan-alasan berikut.
1. Masyarakat menyadari bahwa mereka yang berkuasa hanyalah manusia biasa. Alasan ini merupakan reaksi terhadap anggapan bahwa pemimpin atau orang yang berkuasa adalah titisan dewa atau setidaknya memiliki kekuasaan dari Tuhan atau dewa.
2. Masyarakat menganggap mereka tidak diikutkan dalam setian pengambilan keputusan. Hal ini merupakan reaksi terhadap anggapan bahwa rakyat ditakdirkan untuk menerima dan tunduk pada penguasa
Titik rawan yang menimbulkan krisis kepercayaan atau krisis ketaatan terhadap kekuasaan mulai timbul pada saat rakyat menyadari dirinya sebagai manusia dewasa, berdaulat, dan menghendaki agar diatur secara mendalam dengan mekanisme pimpinan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di samping itu, otoritas (pemerintah) juga tidak mampu mengubah dan menyesuaikan struktur kekuasaan feodal yang sudah mapan dengan tuntutan cita-cita demokrasi modern, seperti pemerintahan yang bersih, tercapainya keadilan, dan tersalurnya aspirasi warga. Dengan bertemunya dua titik rawan ini, terjadilah krisis kewibawaan dan ketaatan.
Cara yang dapat dipakai untuk mengatasi krisis kewibawaan adalah sebagai berikut.
1. Mengubah prinsip sentralisasi kekuasaan ke prinsip desentralisasi. Kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat dan merata hanya bisa dicapai jika setiap provinsi di seluruh negara ikut mengambil prakarsa dan ikut bertanggung jawab atas tugas dan wewenang yang menjadi bagiannya. Setiap golongan dan partai politik memiliki kewenangan dan pertanggungjawaban atas kepentingan serta usaha yang dilakukan demi kepentingan nasional. Untuk itu, langkah yang penting adalah meninjau kembali secara objektif struktur kekuasaan yang ada. Kekuasaan yang bersifat sentralistis sebaiknya ditinggalkan dan diubah menjadi prinsip desentralisasi kekuasaan.
2. Prinsip-prinsip menghindari disintegrasi. Setiap daerah harus diberi tanggung jawab sendiri dan tidak didikte oleh pusat. Hal ini berkaitan dengan kemampuan daerah dalam rangka mengelola pembangunan di daerah. Bantuan dari pusat hanya diberikan selama daerah belum mampu berjalan sendiri. Rasa kesatuan tetap dibina karena dalam suasana itu masing-masing daerah merasa sebagai bagian integral dari keseluruhan bangsa dan negara.
3. Koordinasi terpadu dari pemimpin yang berwenang. Dalam krisis kewibawaan, harus diingat bahwa krisis lembaga atau hukum adalan krisis ketaatan kepada atasan. Ini berarti bahwa kehendak yang berkuasa yang dimanifestasikan dalam peraturan-peraturan hukum tidak dihiraukan lagi. Hal ini juga berarti lembaga hukum sudah runtun.
4. Tidak mengulangi cara lama. Misalnya, menghancurkan lawan yang menentang kekuasaan, memitoskan individu atau kelompok yang sama dengan sentralisasi kekuasaan.
Bentuk kekuasaan pada sebuah negara sangat berkaitan dengan bentuk pemerintahannya. Pada negara monarki absolut, bentuk kekuasaan tersentralisasi dan dipegang oleh satu orang. Pada negara republik konstitusional dan monarki parlementer, kekuasaan terbagi (terdesentralisasi) ke beberapa lembaga, seperti lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.